Rabu, 18 Februari 2015

Review Buku: Louis O. Kattsoff (1996). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Dr. Andi Tenri
BAGIAN 5 

PENGEMBARAAN TIADA BERTEPI 

           Louis O. Kattsoff dalam bukunya seperti disebutkan di atas, mengupas filsafat secara sistematis, komprehensif, dan mendalam. Ia membagi bukunya dalam enam bagian dan dua puluh satu bab. Setiap bagian mewakili tema kefilsafatan tertentu yang penjelasannya terinci atas topik-topik bab. 
             Tulisan ini merupakan sebuah review untuk bagian kelima yang bertema Pengembaraan Tiada Bertepi. Bagian ini mengupas lima topik, yakni masalah hidup (bab 13); masalah jiwa (bab 14); masalah nilai (bab 15); masalah nilai etika (bab 16); dan masalah nilai estetika (bab 17).* 
           Pada bagian kelima ini Kattsoff mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan kefilsafatan yang digambarkannya sebagai “pengembaraan tiada bertepi”. Meskipun tidak dijelaskan maknanya, dapat tafsirkan bahwa yang dimaksud Kattsoff sebagai pengembaraan tiada bertepi adalah bahwa pemikiran terhadap masalah-masalah tersebut berdimensi banyak, tidak berbatas, terbuka untuk didiskusikan, serta pendapat yang ada bergantung oleh siapa yang mengkajinya. Karena itu, tidak heran jika kemudian muncul begitu banyak teori yang mencoba memahami hakekat dasar tersebut sebagaimana diuraikan berikut. 

 MASALAH HIDUP 

               Satu hal menakjubkan di alam semesta ini adalah adanya satuan yang susunannya sangat rumit (muskil), yang dinamakan “makhluk hidup.” Manusia termasuk di dalamnya. Juga ruang, waktu, kejadian-kejadian, gerakan, dan lain sebagainya, termasuk hakekat hidup yang perlu dicocokkan dengan gambaran kita. Pertanyaannya ialah: Apakah yang kita maksudkan dengan hidup itu? 
              Setelah mempelajari “tingkah laku” untuk membedakan antara yang hidup dengan yang tidak hidup, maka Kattsoff berupaya menjelaskan hakekat hidup dengan mengajukan empat proposisi, yaitu (1) hidup bersifat mekanistik; (2) hidup bersifat vitalistik; (3) hidup bersifat psikologik; dan (4) hidup bersifat organismik. Keempat proposisi itu kemudian melahirkan teori-teori tentang hakekat hidup sebagai berikut: 
1. Teori Mekanisme 
           Terdapat empat varian teori mekanime. Pertama, teori mekanisme murni. Teori ini memandang gejala yang berkenaan dengan “yang hidup” tiada lain ialah gejala dari partikel-partikel yang bergerak dan dapat dijelaskan dengan hukum-hukum yang sama dengan gerakan. Hal ini merupakan bentuk mekanisme ontologis yang bermaksud menjelaskan hakekat terdalam dari hidup itu. Mekanisme murni ini sering pula disebut ajaran monistis. Teori ini memandang hidup atau organisme hidup tersusun dari jenis bahan yang persis sama seperti materi organis, tetapi pengaturan, gerakan, dan posisinya mungkin berlainan. 
                 Kedua, teori mekanisme fisiko-kimiawi. Teori ini memandang bahwa hidup ialah suatu gejala yang dipandang sesuai dengan corak susunan fisiko-kimiawi tertentu yang bergerak menurut hukum-hukum fisika. Perbedaan teori ini dengan teori mekanisme murni ialah teori ini lebih sejalan dengan perkembangan fisika modern dewasa ini. 
                 Ketiga, teori mekanisme mesin. Teori ini mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam suatu organisme hidup adalah sebuah mesin yang sangat rumit susunannya. Teori ini berpendirian bahwa organisme harus dipandang sebagai suatu satuan yang berfungsi secara utuh, yang bagian-bagiannya saling tergantung dan saling mempengaruhi. Seperti mesin, hidup bagaikan berfungsinya bagian-bagian tersebut secara keseluruhan. Sifat saling berhubungan dari mesin itulah yang menjadikannya terlihat seperti organisme hidup. 
              Keempat, teori mekanisme kausal. Teori ini bermakna prinsip metodologik. Teori ini berpendirian bahwa hukum sebab-akibat harus dipertahankan, sekurang-kurangnya sebagai suatu prinsip kerja (metodologik). Ia memandang bahwa gejala hidup apa pun, merupakan akibat yang dapat dipelajari dengan memakai sarana alami. Menurut Kattsoff, tidak perlu berpegang pada teori ini karena masalah yang dihadapi berkenaan dengan hakekat hidup dan bukan bagaimana cara menyelidiki hakekat tersebut. 
                 Di antara keempat teori mekanisme tersebut, yang paling dapat diterima, menurut Kattsoff, adalah teori fisiko-kimiawi yang berpandangan bahwa suatu organisme hidup merupakan sistem kimiawi yang rumit yang bergerak menurut hukum-hukum yang muskil. Bahan bukti yang diajukan ialah hidup didasarkan atas molekul-molekul protein: sel-sel hidup merupakan pabrik-pabrik protein. Molekul protein inilah yang memungkinkan manusia menggerakkan sesuatu. 
2. Teori Vitalisme 
              Istilah “vitalisme” adalah lawan istilah “mekanisme”. Ajaran vitalisme mendefinisikan hidup dalam hubungannya dengan suatu prinsip atau substansi yang khas dan yang bersifat mendalam, yang disebut entelekia. Entelekia inilah memberi hidup kepada sesuatu yang hidup.
            Ajaran vitalistik membicarakan hidup seolah-olah hanya sebagai suatu nama bagi corak-corak tingkah laku yang muncul. Corak itu berupa kualitas-kualitas yang muncul dalam hidup. Sebagai contoh atas istilah “muncul” itu, dapat diperhatikan hidrogen dan oksigen. Kedua hal ini merupakan gas dan bertingkah laku seperti gas. Bila dipadukan, maka kedua gas tersebut bergabung dan membentuk air. Dalam air tidak terdapat hal lain kecuali hidrogen dan oksigen, namun bila timbul air, maka muncullah ciri-ciri yang tidak terdapat pada masing-masing unsurnya.
             Dengan cara entelikia seperti itu, maka hidup dapat dipandang sebagai sebuah corak baru dari ciri khas tingkah laku yang timbul bilamana terbentuk susunan kimiawi tertentu. Ciri khas baru itu seperti: kepekaan, pembiakan, penelanan, dan sebagainya. Tidak semua susunan kimiawi menunjukkan adanya ciri tersebut, tetapi susunan kimiawi yang menunjukkan adanya ciri itu dinamakan “organisme hidup.” 
            Bahan bukti teori ini sama dengan yang diajukan oleh teori mekanisme, seperti perkembangan embriologi organisme yang menjelaskan hidup menurut konsep berarah-tujuan. Sejalan dengan pandangan ini juga diajukan bukti tentang konsep elan vital. Konsep elan vital menjelaskan bahwa hidup terus-menerus berkembang ke arah bentuk yang lebih muskil tetapi sempurna, karena adanya hasrat hidup (elan vital). Hal ini diturunkan atau beralih dari satu generasi ke generasi lain, menciptakan bentuk-bentuk baru, dan mengarahkan proses hidup. 
3. Teori Psikofisik (Teori Teleologis) 
               Teori psikofisis (teleologis) berpendirian bahwa hidup merupakan suatu segi dari organisme yang mengandung prinsip pembatasan, yaitu proses-proses yang berarah-tujuan dan bersifat membulatkan. Yang dimaksud arah tujuan ialah suatu maksud atau sasaran yang dibayangkan. Karena itu suatu sistem—seperti organisme biologis—mempunyai arah tujuan (mengandung maksud dan tujuan terbayangkan), yang disebut sistem teleologis. Teleologis berarti apa pun yang hidup berarti mempunyai arah tujuan atau maksud. 
            Dalam hubungan ini, arah tujuan dengan fungsi harus dipahami berbeda. Berfungsi berarti “bekerja sesuai dengan strukturnya,” sedangkan berarah-tujuan (bersifat teleologis), harus lebih daripada sekadar bersifat fungsional, yaitu diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Bahan bukti yang diajukan teori ini ialah dasar hidup yang bersifat kejiwaan serta fisiko-kimiawi. Kualitas-kualitas hakiki yang melekat pada kejiwaan ialah: pemberi arah, tujuan, arah-tujuan, atau teleologis.
4. Teori Organisme 
           Teori ini memadukan pandangan-pandangan tersebut di atas dan membuktikan bahwa penganut mekanisme mengabaikan apa yang dilebih-lebihkan penganut vitalisme dan penganut paham psikofisik. 
               Teori organisme memandang bahwa organisme itulah yang penting untuk memahami hidup. Hidup itu adalah organisme. Menurut teori ini hidup tidak didasarkan atas ciri kimiawi, tetapi hidup harus dipandang sebagai suatu perangkat ciri yang dimiliki oleh suatu sistem yang bulat. Ini berarti, tidak ada substansi yang hidup, yang ada hanyalah proses-proses yang hidup. Corak organisasi serta keselarasan organisme itulah yang menyebabkan kita mengatakannya “hidup”. 

MASALAH JIWA 

              Di atas telah dijelaskan hakekat hidup dengan berbagai varian teori yang menjelaskannya. Pada bagian ini akan dibahas satu segi hidup yang secara paling jelas menampakkan diri pada manusia, yang disebut “jiwa” (“mind’). 
            Menurut Kattsoff, paham mengenai hakekat jiwa bermacam-macam dan jika diklasifikasi maka setidaknya terdapat empat varian teori mengenai jiwa, yaitu: (1) teori-teori yang memandang jiwa sebagai substansi yang berjenis khusus, yang dilawankan, misalnya, dengna substansi materi; (2) teori-teori yang memandang jiwa sebagai sejenis kemampuan, artinya, semacam pelaku atau pengaruh dalam kegiatan-kegiatan; (3) teori-teori yang memandang jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada organisme-organisme hidup; dan (4) teori-teori yang menyamakan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku. 

Makna Jiwa 
            Apakah hakekat jiwa itu? Menjawab pertanyaan ini, Kattsoff tidak mempersoalkan jiwa secara metafisik, melainkan perorangan. Jadi bukan jiwa semesta (universal) seperti dianut oleh kaum idealis. Ia tidak mempersoalkan pandangan yang berbeda-beda tentang jiwa, namun apapun hakekat jiwa itu, katanya, sudah pasti terkait dengan proses-proses tertentu. 
         Tidak seorang pun pernah atau dapat melihat jiwa, kecuali, jika jiwa diberi arti atau dihubungkan dengan proses-proses yang erat hubungannya dengan benak. Proses itu dinamakan proses kejiwaan, yang terbagi atas dua unsur: yakni (1) proses konatif dan (2) proses kognitif. Proses konatif meliputi perasaan, kehendak, dan dorongan hati—semuanya ini merupakan proses-proses, yang dapat menggerakkan seseorang. Sementara proses kognitif adalah proses berpikir, mengingat-ingat, penalaran, serta pencerapan. Proses ini bersangkutan dengan cara memperoleh pengetahuan. Para ahli memandang kedua proses ini saling berhubungan dan merupakan proses yang berhubungan dengan proses fisiko-kimiawi dalam tubuh manusia. 

Jiwa dan Raga 
         Apa hubungan antara jiwa dan raga? Memandang proses konatif dan kognitif saling berhubungan, maka jiwa manusia mempunyai dua macam kedudukan, yaitu subjek yang mempunyai proses konatif dan kognitif. Ini berarti jiwa berbeda dengan raga. Dalam hal ini masalah hakiki dalam kefilsafatan ialah apakah jiwa itu dan bagaimana hubungannya dengan raga? 
         Manakala jiwa dipandang berbeda dengan raga dan merupakan subjek yang berpikir, berkehendak, dan sebagainya, maka teori yang dihasilkan bersifat dualistis, pertanyaannya: Bagaimana cara jiwa mempengaruhi raga? Namun jika jiwa sekadar dipandang sebagai proses-proses benak (otak) manusia, maka hasilnya berupa paham monisme; pertanyaannya: Apakah jiwa merupakan fungsi raga atau raga yang merupakan fungsi jiwa, ataukah jiwa dan raga merupakan bagian yang ketiga? Yang pertama dianut oleh idealisme, yang kedua dianut oleh pendukung materialisme, sedangkan yang ketiga dianut oleh monisme netral. 
                 Sejumlah istilah lain terkait pula dengan masalah hubungan jiwa dan raga: 
 (1) Efifenomenalisme, paham yang memandang proses kejiwaan sebagai kesadaran yang bersumber dari syaraf manusia; 
 (2) Interaksionisme, paham ini berasal dari Descartes yang mengatakan jiwa dan raga berbeda, namun yang satu mempengaruhi yang lain secara timbal-balik. Descartes beranggapan, hakekat jiwa ialah pemikiran, sedangkan hakekat materi adalah eksistensi. Yang satu berbeda dengan yang lain, namun keduanya saling mempengaruhi (dualisme); 
(3) Paralelisme psikofisik, paham ini menyatakan, ada dua macam sistem kejadian: yang ragawi (terdapat di alam) dan yang kejiwaan (terdapat dalam jiwa manusia). Di antara keduanya tidak terjadi hubungan kausal karena masing-masing terpisah. Kejadian fisik menimbulkan kejadian fisik lainnya, sedangkan kejadian kejiwaan menimbulkan kejadian yang sejenis; tidak pernah ada kejadian fisik menimbulkan kejadian kejiwaan, demikian pula sebaliknya. Hanya karena kedua kejadian nampak saling berhubungan sederajat dan berpasang-pasangan, maka tampaknya saja terjadi suatu interaksi. Fenomena ini yang disebut paralelisme psikofisik. Cara terjadinya paralelisme itu tidak terungkap oleh pengetahuan, ia hanya diyakini sebagai buatan Tuhan (paham okasionalisme); 
(4) Psikosomatika, paham ini berasal dari para ahli jiwa dan kedokteran dan berpandangan bahwa proses kejiwaan mempengaruhi semata-mata hanya proses yang bersifat ragawi. Begitulah, emosi berpengaruh terhadap pencernaan makanan, dan amarah menimbulkan kegiatan kelenjar. Suara musik menggerakkan emosi; sementara kurang makan dan kemarahan dapat menyebabkan mundurnya hasrat seksual. 

Pandangan Para Ahli tentang Jiwa dan Raga 
               Seperti telah diuraikan, Kattsoff membagi teori mengenai jiwa dalam empat klasifikasi, yaitu teori substansi, teori kemampuan, teori proses, dan teori tingkah laku. Berikut ini akan dibahas secara singkat pandangan empat ahli yang mewakili masing-masing teori tersebut. 
1. Jiwa sebagai Substansi: Sigmund Freud
              Freud berangkat dari adanya kekuatan yang mendorong atau mempengaruhi tindakan manusia, yang mungkin saja tindakannya itu bertentangan dengan sikapnya jika ia mempertimbangkannnya lebih baik. Kekuatan atau dorongan apakah itu? 
                     Freud menjelaskan, ada dua segi yang terlibat dalam masalah ini, yaitu “yang sadar” dan “yang bawah sadar.” Segi pertama—yang sadar—terdiri atas pikiran-pikiran, hasrat-hasrat, serta perasaan-perasaan yang disadari, sedangkan segi kedua—yang bawah sadar—terdiri atas dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, dan bahkan hasrat-hasrat serta pikiran-pikiran yang agaknya berpengaruh terhadap tinglah laku seseorang. Karena itu, dapat dikatakan Freud memandang jiwa sebagai gabungan keseluruhan proses konatif dan kognitif yang terdapat dalam tingkatan yang sadar dan yang bawah sadar. Bukti yang bawah sadar adalah mimpi dan hipnotisme. 
                   Berdasarkan dua segi itu, Freud memandang jiwa manusia terdiri atas tiga bidang, yaitu id, ego, dan superego. Lapisan paling bawah terdiri atas nafsu-nafsu bawaan, yakni libido (nafsu kelamin) dan nafsu agresif. Nafsu ini terdapat dalam inti yang bawah sadar, yang merupakan bagian jiwa, yang disebut id. Menurut Freud, anak-anak dan orang dewasa semuanya memiliki nafsu seksual ini meskipun manifestasinya berbeda-beda. Dorongan untuk menjelmakan nafsu tersebut merupakan prinsip penggerak perbuatan manusia, yang dinamakannya: prinsip kenikmatan. 
           Selanjutnya terdapat tingkatan di atas id yang disebut ego. Ego atau aku berfungsi menyalurkan dan menjaring nafsu, yang sekaligus mengatasi pertentangan antara ruang dan waktu. Ego ini meliputi segenap kesadaran manusia dan bertugas menjaring nafsu yang didorong oleh id, sekaligus menekan nafsu yang bersifat merusak. Sederhananya, ego menjadi perantara antara nafsu id dengan dunia luar (kenyataan material dan kemasyarakatan). Ego juga meliputi proses akali jiwa manusia, yang memilah dan memilih sarana untuk menjelmakan nafsu, serta melakukan sublimasi atas nafsu, artinya membelokkannya ke dalam saluran yang lain. 
                 Tingkatan ketiga adalah superego. Superego berhubungan dengan realitas kehidupan sosial manusia, yakni seperangkat cita-cita serta kaidah yang merupakan bagian dari segi kehidupan manusia. Superego juga sejenis perantara, yang menghubungkan id dengan cita-cita yang dipunyai seseorang. Bagaimana caranya ketiga bidang tersebut, yang merupakan bagian dari jiwa, mempengaruhi raga? Menurut Kattsoff, tidak ada jawaban pasti dari analisis Freud. Kattsoff menduga analisis Freud sejenis dualisme yang diajarkan Descartes. 
2. Jiwa sebagai Kemampuan: Joseph A. Leighton 
             Dimanakah letaknya jiwa? Masuk akalkah jika berbicara pikiran terdapat dalam ruang-waktu? Mungkinkah jiwa terdapat dalam raga? Masalah-masalah inilah yang akan dijawab oleh teori jiwa sebagai kemampuan. 
        Menurut Leighton, jiwa itu bersifat trans-spasial, artinya mengatasi ruang. Untuk memahaminya, perlu perhatikan sejumlah proses kejiwaan. Sebagai contoh, rasa sakit yang terdapat pada salah satu bagian raga. Bagi ahli ilmu jiwa, sesungguhnya rasa sakit itu tidak terdapat di tempat yang dirasakan sakit, melainkan terdapat pada jiwa (maksudnya rangsangan lewat syaraf dilanjutkan ke jiwa sebagai penerima yang kemudian dirasakan sakit). Jadi jiwa seolah-olah mengembang ke arah raga yang dirasakan sakit, maka rasa sakit tersebut dikatakan terdapat di situ. Fenomena inilah yang oleh Leighton disebut jiwa memiliki kemampun mengembang, merembesi, dan mempersatukan bagian-bagian raga manusia. Sebagai pemersatu pengalaman ragawi (trans-spasial), jiwa tidak hanya bertindak melalui ruang, tetapi juga sekaligus menembus ruang. Inilah yang disebut jiwa sebagai kemampuan. 
           Selain memiliki kemampuan mengembang, merembes, dan mempersatukan, jiwa juga mempunyai tenaga, yakni mengendalikan dan mengarahkan ketegangan spasial dalam lingkungan fisik. Kemampuan ini merupakan sarana bagi jiwa untuk berkehendak, menentukan pilihan, dan mengingat-ingat kembali. Lewat kemampuan ini seseorang dapat mengendalikan masa depan dan memanfaatkan hal-hal yang terdapat di masa lampau. Dengan cara demikian, manusia dapat membebaskan dirinya dari keadaan yang ditentukan oleh benda kejasmanian. Inilah fungsi tertinggi yang dipunyai oleh jiwa. 
              Tetapi manusia juga punya raga yang dapat dipakai oleh jiwa sebagai sarana menyadari hubungan antara dirinya dengan sekitarnya. Namun Leighton mengakui, tidak mengetahui bagaimana cara jiwa mempengaruhi raga. Satu-satunya kejelasan adalah bagaimana pun jiwa dan raga yang dianggap berlawanan tersebut, sesungguhnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Menurut Kattsoff, pendirian ini menempatkan jiwa manusia dapat ditafsirkan bersifat efifenomenalistik di satu sisi dan di lain pihak bersifat paralelistis. 
3. Jiwa sebagai Proses: James B. Pratt 
                Menurut Pratt, cara terbaik untuk melukiskan ciri jiwa ialah dengan jalan melukiskan apa yang dilakukan oleh jiwa. Ia menggunakan istilah “jiwa” dalam arti luas dan sering mempertukarkan dengan kata “aku”. Menurutnya, jiwa atau aku ialah sesuatu yang mempunyai cita-cita dan kehendak, yang menderita, berusaha, dan mengetahui. Jiwa itu tetap bertahan dalam menghadapi perubahan dan tetap bersifat khas, tunggal, sepanjang seluruh proses yang berjalan, karena ia mempersatukan masa kini dengan masa lampau serta melakukan pencerapan, mengingat-ingat, berpikir, serta merasakan. Menurut Pratt, dalam seluruh hal tersebut, jiwa berbeda dengan benda. 
              Pratt menunjukkan empat macam kemampuan yang dimiliki oleh jiwa, yaitu (1) kemampuan menghasilkan kualitas penginderaan; (2) kemampuan menghasilkan makna-makna yang berasal dari penginderaan; (3) kemampuan memberikan tanggapan terhadap hasil penginderaan serta makna, dengan jalan merasakan, berkehendak, atau berusaha; dan (4) kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses yang terjadi dalam benak untuk mengubah haluannya. 
          Menurut Kattsoff, pandangan Pratt terhadap jiwa tersebut, jika diperhatikan, memakai dua ungkapan yang berbeda: (1) “jiwa ialah apa yang dikerjakannya,” dan berhubungan dengan itu, berarti jiwa merupakan suatu proses; (2) “jiwa menggunakan raga sebagai alat,” dan karena itu jiwa merupakan semacam kemampuan. 
            Pratt memandang bahwa hubungan antara jiwa dan raga bersifat berliku-liku, sehingga sulit mengatakan apakah jiwa, apakah raga itu. Tetapi kegiatan jiwa dapat diselidiki lewat pernyataan ragawi. Ini berarti, ada jiwa dan ada juga raga, atau lebih tepat; ada proses kejiwaan dan ada proses ragawi. Kattsoff menganggap pandangan ini bersifat dualistis. Dengan pandangan dualistis, orang dapat menyatakan seluruh kenyataan sebagai “materi” atau sebagai “roh” yang menyatakan dua jenis proses, yang satu disebut proses material dan yang lain disebut proses mental.
             Perbuatan manusia tidak bersifat mekanistik. Karena itu, Pratt secara tegas menyatakan bahwa jiwa sebagai proses tidak sama dengan raga sebagai proses. Proses kejiwaan baik berupa proses konatif maupun kognitif seperti ingatan, kehendak, pemikiran, dan sebagainya, sama sekali berbeda dengan proses ragawi seperti kecepatan, dampak, gaya berat, dan sebagainya. Tetapi kedua hal itu menunjukkan adanya keadaan yang saling mempengaruhi antara jiwa dan raga. Meskipun banyak keberatan atas pendapat Pratt tersebut, sekali lagi, disimpulkan bahwa pandangannya itu tetap bersifat dualistis. 
4. Jiwa sebagai Tingkah Laku: Y.H. Krikorian 
             Tingkah laku merupakan bukti adanya jiwa. Pernyataan ini dapat pula berarti jiwa ialah tingkah laku. Secara epistemologi, tingkah laku dapat dipahami melalui adanya respon. Inilah merupakan pendirian pokok behaviorisme dan naturalisme yang dipelopori oleh John Watson, seorang ahli jiwa Amerika. Atas dasar pendirian ini Krikorian kemudian mengembangkan teorinya mengenai jiwa sebagai tingkah laku. 
              Menurut Krikorian, tingkah laku kejiwaan melibatkan juga makna. Ini berarti, jika orang menyatakan sesuatu terdapat dalam jiwa, maka kiranya yang ditunjuk ialah suatu jenis tingkah laku yang bermakna. Karena tingkah laku berhubungan dengan respon, maka Krikorian memastikan bahwa jiwa dapat dipahami atau didefinisikan sebagai sejenis respon tingkah laku. Tetapi, perlu diingat, tidak semua jenis respon bersifat kejiwaan. Misalnya, orang bernafas responya berupa oksidasi. Ini bukan respon kejiwaan, meskipun pernafasan di bawah kendali otak manusia. 
               Menurut Krikorian, jika respon bersifat kejiwaan, maka terdapat reaksi yang bukan hanya ditujukan terhadap ransangan sebagai objeknya, tetapi juga terhadap makna ransangan itu. Secara pragmatis, makna di sini didefinisikan dalam arti akibat-akibat. Dalam kaitan ini jiwa ialah respon yang telah diramalkan sebelumnya. Krikorian membagi tiga matra (fungsi, atau corak kegiatan) respon kejiwaan yang telah diramalkan sebelumnya, yaitu (1) kemampuan menggunakan sarana dalam mencapai tujuan, yakni daya pemahaman atau kemampuan memperoleh pengetahuan; (2) kemampuan mengejar tujuan sebagai tujuan yang dibayangkan, yakni kemampuan berkehendak atau menaruh perhatian; dan (3) kemampuan memperoleh pengetahuan mengenai jiwa, yakni kesadaran. 
           Ketiga kemampuan kejiwaan itu—pengetahuan, kehendak, dan kesadaran—merupakan proses-proses yang perwujudannya dapat dipahami melalui tingkah laku manusia. Karena itu, jiwa pada dasarnya tingkah laku, atau sebaliknya, tingkah laku manifestasi proses kejiwaan. 
             Krikorian tidak mengupas raga dalam kaitan dengan analisis jiwa sebagai tingkah laku. Nampaknya ia menyamaratakan jiwa dan raga sebagai satu kesatuan. Tetapi, dengan tingkah laku, yang berarti sama dengan proses ragawi, maka pandangannya itu dapat digolongkan sebagai paham monistis-materialime. 

AKSIOLOGI: MASALAH NILAI 

               Masalah nilai merupakan salah satu aspek kefilsafatan yang sangat penting. Apakah nilai itu? Apakah istilah “nilai” sama maknanya dengan istilah “baik”. Makna apa yang dikandung oleh kedua istilah tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh filsafat nilai atau aksiologi. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai dari sudut pandang kefilsafatan.
              Menurut Kattsoff, pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: (1) nilai sepenuhnya berhakekat subjektif. Menurut sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi manusia sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya, yang demikian ini dinamakan “subjektivitas”; (2) nilai merupakan kenyataan secara ontologis, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu, hanya berupa esensi-esensi logis yang diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan “objektivisme logis”; dan akhirnya (3) nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang demikian ini dinamakan “objektivisme metafisik.” 

Makna Nilai 
             Nilai dan baik mempunyai pengertian masing-masing, namun penggunaannya seringkali dicampuradukkan. Yang jelas, nilai mempunyai hubungan erat dengan pengertian baik. Nilai kesusilaan merupakan nilai yang baik. Orang yang baik adalah orang yang mempunyai perikehidupan yang bernilai, artinya perikehidupan yang patut dihargai. Sesungguhnya, gagasan nilai, seperti patut dihargai atau disetujui, meliputi segenap macam kebaikan dan sejumlah hal yang bernilai dan yang diberi nilai. Nilai yang terkandung dalam diri objeknya (kualitas objek) disebut nilai intrinsik; sedangkan nilai yang tidak terkandung pada objeknya dan hanya diterapkan disebut nilai instrumental. 
               Nilai juga berhubungan dengan situasi. Menurut Kattsoff, nilai situasi meliputi; (1) suatu subjek yang memberi nilai, dinamakan “segi pragmatis”; (2) suatu objek yang diberi nilai, disebut “segi semantis”; dan (3) suatu perbuatan penilaian; atau (4) suatu nilai ditambah perbuatan penilaian. Masalah apakah pada suatu situasi nilai tertentu terdapat tiga atau empat faktor tersebut, berhubungan dengan masalah keharusan dan kenyataan. Kedua hal ini berbeda. 
                 Perkataan nilai mempunyai berbagai macam arti. Nilai dapat berarti berguna (mengandung nilai); nilai dapat bermakna baik atau benar atau indah (merupakan nilai); nilai juga dapat bermakna objek keinginan, mempunyai kualitas, yang menyebabkan orang bersikap menyetujui (mempunyai nilai); nilai juga dapat bermakna menanggapi sesuatu sebagai sesuatu hal yang diinginkan (memberi nilai). Semua contoh ini menunjukkan cara penggunaan kata “nilai.” 
                Makna yang dikandung “nilai” tersebut menimbulkan tiga masalah yang bersifat umum: (1) Apakah yang dinamakan nilai itu? Apakah yang menyebabkan suatu objek atau perbuatan bernilai dan bagaimana cara mengetahui bila nilai ingin diterapkan? Proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan penilaian, dan bagaimana cara menentukan makna yang dikandungnya, serta verifikasi yang dapat dilakukan terhadapnya? Untuk menjelaskan semua masalah ini, diperlukan pendekatan-pendekatan teoretik dalam aksiologi. 

Pendekatan Teoretik tentang Nilai 
             Kattsoff mengidentifikasi empat pendekatan teoretik aksiologi tentang nilai, yaitu (1) nilai sebagai kulitas empiris; (2) nilai sebagai objek kepentingan; (3) teori pragmatis mengenai nilai; dan (4) nilai sebagai esensi. Berikut dijelaskan masing-masing secara singkat. 
1. Nilai sebagai Kualitas Empiris 
              Kualitas ialah sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu objek. Kualitas adalah suatu segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Nama sesuatu kualitas dapat dipakai sebagai kata sifat. Contohnya, kuning, menunjukkan suatu kualitas—yaitu suatu warna—objek tertentu dan dapat dipakai sebagai kata sifat.
          Kualitas empiris ialah kualitas yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Kuning merupakan kualitas empiris, artinya satu-satunya cara mengetahui kuning hanya dengan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sebagai kualitas empiris, kuning tidak dapat didefinisikan; tidak bisa dijelaskan bahwa begini, begitu, kecuali melihatnya langsung; kuning tidak dipulangkan kepada unsur-unsur yang lain. Begitu pula halnya dengan pengertian baik, artinya pengertian nilai. Baik adalah pengertian bersahaja, seperti halnya kuning itu. Kita tidak dapat menerangkan warna kuning kepada seseorang yang belum mengenal warna tersebut, seperti halnya kita tidak dapat menerangkan apakah baik itu. 
            Jika nilai adalah suatu kualitas objek atau perbuatan tertentu, maka objek atau perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas nilai, tetapi tidak mungkin sebaliknya. Misalnya, saya dapat berkata “Pisang itu kuning,” tetapi tidak mungkin sebaliknya, misalnya, “Kuning itu pisang.” Dengan demikian, nilai sebagai kualitas empirik mutlak melalui verifikasi pengalaman dan tolok-ukur atau akibat yang diberikan terhadapnya. 
2. Nilai sebagai Objek Kepentingan 
         Sering dijumpai orang tidak bersepakat tentang nilai. Hal ini berarti setiap nilai juga menyangkut sikap. Sikap setuju atau menentang terhadap nilai itu menunjukkan adanya “kepentingan,”; artinya, nilai ialah kepentingan. 
           Nilai sebagai objek kepentingan berarti setiap objek yang ada dalam kenyataan maupun pikiran, yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika pada suatu ketika berhubungan dengan subjek yang mempunyai kepentingan. Dengan kata lain, jika seseorang mempunyai kepentingan pada suatu apa pun, maka hal tersebut mempunyai nilai. Namun ada keberatan, misalnya, jika orang tidak berkepentingan atas kesusilaan atau keadilan, apakah berarti kesusilaan atau keadilan itu tidak baik. Tentu tidak. Dalam kenyataannya, hal itu tetap bernilai, walaupun seseorang tidak berkepentingan terhadapnya. 
3. Teori Pragmatis tentang Nilai 
              Keberatan atau penolakan atas nilai sebagai kepentingan, mengakibatkan munculnya teori pragmatis tentang nilai. Teori pragmatis memandang nilai bukan kepentingan, tetapi sebagai hasil pemberian nilai atau berhubungan dengan akibat. Nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dengan demikian, nilai terletak pada kesesuaian hubungan antara sarana dan tujuan (tindakan pragmatis). Kedua hal ini—sarana dan tujuan—tidak terpisahkan. Memisahkan antarkeduanya dapat menyebabkan sesuatu tidak bernilai atau tidak baik. Umpamanya, jika kita inginkan perdamaian, dapatkah dibenarkan tindakan membunuh setiap penguasa yang menginginkan perang? Apakah yang demikian ini baik? 
            Setiap situasi menciptakan nilai. Situasi kehidupan sehari-hari menciptakan nilai. Sehubungan dengan ini, tidak ada nilai yang abadi, yang ada hanya nilai yang berubah-ubah, tergantung pada situasi atau keadaan. Selama penilai memajukan tujuan bersama, maka selama itu hasil penilaian dalam kehidupan tersebut benar, meskipun tidak jarang juga terjadi adanya ketidaksepakatan mengenai nilai, baik ketidaksepakatan faktual maupun ketidaksepakatan semu (keduanya menunjuk ketidaksepakatan mengenai sarana yang digunakan dan tujuan yang hendak dicapai). 
4. Nilai sebagai Esensi 
             Jika nilai merupakan sesuatu yang diciptakan atau diinginkan, maka tentu kita dapat membuat baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik. Ini bertentangan dengan kenyataan; bagaimanapun kita ingin membuat buruk menjadi baik, maka ia tetap buruk juga, demikian pula sebaliknya. Yang demikian ini berarti nilai yang bukan merupakan esensi. 
            Sesungguhnya nilai ada dalam kenyataan, namun tidak bereksistensi. Nilai haruslah merupakan esensi-esensi, yang terkandung dalam sesuatu objek atau perbuatan (forma-forma). Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada dalam kenyataan. Nilai mendasari sesuatu dan bersifat tetap. Jika berkata “Perdamaian itu bernilai,” maka ini dipahami bahwa di dalam hakekat perdamaian itu sendiri terdapat nilai yang mendasarinya. 
                 Esensi bukan merupakan kualitas. Esensi tidak dapat ditangkap secara inderawi. Ini berarti, memahami nilai tidak sama memahami warna. Jika demikian, bagaimana cara memahaminya? Nilai esensi dapat dipahami secara langsung melalui apa yang dinamakan “indera nilai,” artinya, pengetahuan nilai yang tidak bergantung pada pengalaman. 
                   Nilai tidak mengubah apa pun di alam semesta, manusia sekadar memberi respon terhadap nilai dan berusaha mewujudkannya. Dengan demikian, jika eksistensi dikatakan dapat berubah dan mengalami perubahan, maka nilai tidak berubah dan bersifat tetap. Nilai bukan hanya tidak bergantung pada eksistensi, melainkan juga pada jiwa. Nilai adalah bentuk yang dipunyai oleh jiwa, alam mendasari nilai, yang nyata ada dan yang abadi. Inilah yang dinamakan esensi nilai atau nilai sebagai esensi. Wallahualam Bissawaab. 
(Makassar, 15 Januari 2007)

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

© Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena