Rabu, 18 Februari 2015

Carut-Marut Pengelolaan Kehutanan: Kasus Kontu di Muna


Dr. Andi Tenri

             Kontu merupakan bagian dari kawasan hutan lindung Jompi yang sejak reformasi (1998) telah diduduki/diklaim oleh warga komunitas seluas kurang lebih 401,59 hektar. Kontu berbatasan dengan Raha, Ibukota Kabupaten Muna. Terdapat paling kurang tiga kelurahan padat penduduk di Raha yang bersinggungan langsung dengan Kontu, yaitu Mangga Kuning, Watonea, dan Laiworu. Dengan posisi itu menjadikan Kontu tidak saja sebagai sebuah kawasan hutan tetapi juga ruang hunian bagi warga komunitas yang bermukim di dalamnya serta masyarakat di sekitarnya. 
              Persinggungan itu menjadikan Kontu sangat mudah diakses oleh berbagai kepentingan yang berbeda. Persinggungan ini tidak saja berarti tekanan terhadap sumberdaya hutan, tetapi juga membawa implikasi terhadap berbagai kehidupan masyarakat, seperti menyusutnya ruang kelola masyarakat yang kemudian bersilang-sengkarut dengan keterbatasan ekonomi, pendidikan, dan ketenagakerjaan, sehingga di sana tercipta situasi yang menyerupai lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi itu mempromosikan kesulitan hidup masyarakat Kontu, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, yang rata-rata warga miskin yang berasal dari masyarakat lapisan bawah.
  ******
            Luas kawasan hutan di Muna pada kurun waktu 2003-2006 tercatat 235.759 hektar atau 79,54 persen dari total luas Kabupaten Muna. Lantaran merebaknya illegal-logging pascareformasi, perkembangan luas hutan tersebut mengalami penurunan drastis. Pada tahun 2007 luas hutan tinggal 108.381 hektar atau sekitar 35,56 persen dari total luas Kabupaten Muna. Penyusutan ini diakibatkan oleh tindakan perusakan hutan dari berbagai pihak, baik dalam bentuk pencurian kayu di hutan, perambahan hutan, pendudukan lahan, sindikasi mafia illegal-logging, maupun kebijakan eksploitasi hutan pemerintah setempat yang tidak dibarengi dengan pengawasan yang ketat. 
        Realitas perusakan hutan itu menampilkan kompleksnya pelaku yang bermain pada tataran berbasis hutan, kayu, dan lahan. Ada pihak kehutanan, aktornya seperti petugas kehutanan. Ada pengusaha yang berbisnis kayu gelap. Ada penebang kayu, buruh pikul, dan penyedia jasa transfortasi kayu. Ada pejabat pemerintah dan penegak hukum fungsional setempat. Ada juga aparat keamanan: polisi dan tentara. Selain itu terdapat aktivis LSM sebagai pemerhati advokasi hutan. Terbanyak, tentu saja, warga komunitas yang hidup berkebun dan bermukim di sekitar hutan. 
          Di tingkat publik relasi sosial para pelaku/aktor itu terkesan carut-marut dan tumpang-tindih. Tidak jarang mereka terlihat bekerjasama dan berkompromi, tetapi juga ada konflik, sengketa, perlawanan, pertentangan, bahkan caci-maki di antara mereka. Relasi carut-marut dan tumpang-tindih ini semuanya bermuara pada kepentingan apa yang bisa diperoleh dari aktivitas berbasis kayu, hutan, dan lahan. Gambarannya bagaikan sebuah arena pertunjukan yang melibatkan banyak pihak, banyak aktor, dan banyak kepentingan. Hutan dan pengelolaan kehutanan terkesan seperti terkepung oleh berbagai pertaruhan kepentingan banyak pihak.
 ****** 
        Dalam situasi itu konflik antara masyarakat sekitar hutan dan pemerintah setempat sulit dihindarkan. Manifestasinya terlihat dari perlawanan sehari-hari masyarakat yang bersifat samar-samar terhadap negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh pihak kehutanan. Misalnya, aksi kecil-kecilan pencurian kayu di hutan, perusakan tanaman hutan, penyerobotan lahan kehutanan, pembangkangan, pertalian masyarakat dengan pencuri kayu, gosip, saling tuding, dan pertikaian kata-kata, hingga aksi menuntut balas warga miskin atas kekejaman petugas kehutanan. Perlawanan semacam itu secara umum dipicu oleh terusiknya perasaan warga sekitar hutan atas penyelewengan dan ketidakadilan kebijakan pengelolaan kehutanan pemerintah setempat. 
        Dalam perjalanan waktu, perlawanan seperti itu terakumulasi sedemikian rupa, sehingga menimbulkan persoalan sosial berkepanjangan dan sesekali menyulut konflik terbuka. Di Kontu, pascareformasi, setidaknya telah terjadi tiga kali konflik terbuka, yakni pada tahun 1998, 2003, dan 2005. Modusnya ialah penduduk sekitar hutan menerobos masuk dan mengkapling lahan bekas hutan jati yang telah tergerus akibat illegal-logging, yang oleh pemerintah setempat dianggap lahan milik negara. Perlawanan dan konfrontasi fisik kedua belah pihak sulit dihindarkan. Pemerintah bertindak represif, wargapun memberi perlawanan, akibatnya korban di kedua belah pihak berjatuhan. 
          Pendudukan lahan di Kontu pascareformasi menjadi awal mula munculnya klaim warga atas kawasan hutan Kontu. Warga komunitas mengklaim kawasan hutan Kontu sebagai warisan tanah adat leluhur, sementara pemerintah setempat menganggap kawasan itu merupakan bagian dari hutan lindung Jompi. Dampak saling klaim ini ialah terjadi sengketa kedua belah pihak yang berujung konfrontasi fisik pada tahun 2003 dan 2005, yang hingga kini belum ditemukan resolusi yang tepat. Perkembangan terakhir, Pemkab Muna dan komunitas Kontu sama-sama mengakui sengketa kawasan hutan Kontu dalam status-quo. Kedua belah pihak bersepakat mengindahkan hasil mediasi Dewan Kehutanan Nasional (2008), yaitu (1) penyelesaian konflik diupayakan melalui penerapan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm); (2) penyelesaian konflik melibatkan masyarakat; dan (3) kedua belah pihak yang berkonflik dapat menahan diri untuk tidak melakukan tindakan kekerasan. 
         Sisi lain dari konflik sehari-hari pengelolaan kehutanan adalah realitas dramaturgi interaksi aktor, baik dari aktor negara, LSM, maupun penduduk sekitar hutan yang dibiaskan atau disiasati melalui sikap bermuka-dua, kepura-puraan, dan saling tuding. Relasi mereka tekesan carut-marut dan tumpang tindih dan secara keseluruhan tampak seperti bermuara pada perhitungan pragmatisme dan kepentingan, yakni seberapa jauh para aktor bisa memperoleh keuntungan dari aktivitas berbasis sumberdaya hutan, kayu, dan lahan, maupun terhadap penyelenggaraan kehutanan. 
             Realitas dramaturgi itu memunculkan dilema. Pada tingkat aktor, relasi dan interaksi mereka berbasis kepentingan pribadi, sementara di tingkat struktur terdapat kepentingan untuk menyelamatkan sumberdaya hutan dan lingkungan. Ironisnya lagi, aktor negara seperti petugas, pejabat, dan aparat, termasuk para aktivis – tentu saja dalam status oknum, bukan institusi – yang semestinya tampil di depan untuk melaksanakan kepentingan struktur, justru ada di antara mereka yang berkontribusi terbalik dari proses itu. Kendatipun sehari-hari di lapangan aktor masyarakatlah yang terlibat langsung atas tekanan sumberdaya hutan, kontribusi ‘panggung belakang’ aktor negara cukup signifikan dalam memberikan dukungan dan jaminan atas kelancaran proses perusakan sumberdaya hutan, misalnya terlibat atau berada di balik mafia pencurian kayu, illegal-logging, sindikasi perdagangan kayu gelap, dan pemalsuan dokumen kayu. Bagaimanapun, aktor negaralah menjadi pihak yang paling berkontribusi besar dalam proses dramaturgi pengelolaan kehutanan. 
            Konsekuensi yang timbul di balik realitas konflik dan dramaturgi sehari-hari ialah tidak hanya berdampak atas semakin tergerusnya sumberdaya hutan, tetapi lebih jauh memperburuk hubungan interaksi dan komunikasi antara warga sekitar hutan dengan pemerintah setempat. Hubungan interaksi mereka tampak seperti kurang harmonis dan tidak saling mempercayai. Rusaknya hubungan sosial ini sejalan pula dengan makin memudarnya nilai kearifan lokal dan etika lingkungan yang dulu pernah dipegang teguh oleh masyarakat sekitar hutan. Kendatipun demikian, perubahan relasi itu tidak berproses ke arah terjadinya polarisasi yang menjurus ke pembelahan masyarakat; yang terjadi justru muncul berbagai bentuk kompromi dan koeksistensi sebagai buah dari kreativitas masyarakat dalam menyikapi perbedaan dan perubahan yang datang silih berganti. Wallahu alam bissawab.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena