Senin, 24 Februari 2014

Elit Kekuasaan dan “Hukum Besi Oligarki”

Ainun Zaujah, S.Sos

“Negara kita telah banyak diurus oleh orang-orang yang salah, dan anehnya cara mereka mengurusnya dengan cara-cara yang salah pula. Bagaimanakah jikalau dua kutub itu sama-sama bekerja lalu membuat satu opini bahwa mereka telah pontang-panting bekerja untuk Negara/daerah. Tapi, nyatanya mereka telah pontang-panting menguras rakyat dan harta kekayaan daerah . Apa yang harus kita lakukan saudaraku…Lawan!!! Itu sebuah ungkapan progresif bagi para koruptor dan penguasa-penguasa yang menindas” 

            Petikan paragraph di atas saya ambil dari sebuah opini yang diterbitkan baubau pos hari sabtu, 21 Mei 2011 dengan judul : Menyoal Tenaga Ahli DPRD Kota BauBau oleh Darmawan Wiridin, S.H. 
       Penulis mencoba menganalisis paragraph di atas secara sosiologis. Berikut, kami sajikan beberapa landasan teoritis yang menjelaskan mengenai stabilitas dan keseimbangan yang mantap dan kurangnya konflik terbuka yang terjadi di sebuah Negara/daerah yang tercipta karena kemampuan dari mereka yang berada dalam struktur kekuasaan untuk memaksakan kemauan mereka memeras dan memanipulasi pandangan umum untuk menghindari perbedaan pendapat, meskipun ada perlawanan potensial. 
      Seorang tokoh sosiologi kontemporer C. Wright Mills, lahir dan dibesarkan di Texas. Dia menganalisa elit kekuasaan di Amerika secara kritis. Gambaran Mills tentang elit di Amerika dimuat dalam bukunya The Power Elite 1956. Tesis sentral Mills menjelaskan bahwa di Amerika, kaum elit menduduki posisi atas meliputi institusi ekonomi, militer dan politik. Ke-3 komponen ini berkolaborasi dan membentuk elit kekuasaan yang terintegrasi dan terpadu. Dimana keputusan-keputusan penting yang meraka ambil menentukan struktur dasar dan arah masyarakat. Posisi mereka secara ekonomis dan politis adalah dominan, memiliki kepentingan yang sama besar, bekerjasama dalam banyak hal untuk mempertahankan dominasinya. Keputusan mereka membentuk kehidupan semua orang yang berada dalam jenjang kekuasaan yang lebih rendah. Keputusan yang mereka ambil berdasarlan kepentingan golongan demi mempertahankan dominasinya ketimbang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat biasa. 
        Analisa Mills sejalan dengan proses organisasional yang digambarkan seorang sosiolog jerman bernama Robert Michels dengan apa yang disebutnya “ hukum besi oligarki “ ( iron law of oligarchy ). Konsep ini menunjuk pada suatu kecenderungan umum bagi kekuasaan untuk menjadi terkonsentrasi pada tangan suatu elit yang keputusan dan tindakannya secara bertahap diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan mereka lebih daripada meningkatkan kepentingan rakyat jelata. Meski Michels menguji proses ini dalam konteks partai politik. Namun, hasilnya dapat dibandingkan dengan analisa Mills mengenai masyarakat amerika. 
        Michels menjelaskan bahwa partai politik yang semakin besar, membuat jarak social semakin lebar antara pimpinan partai dan anggotanya. Akibatnya minat dan keterlibatan aktif dari setiap anggota umumnya bertambah kurang secara drastic. Sebagian disebabkan karena anggota pada umumnya merasa bahwa suara mereka mungkin tidak akan didengar dan karena itu menarik diri dari partisipasi aktif. Apabila perasaan tidak berdaya, acuh tak acuh menyebar luas di kalangan bawahan akan muncul suatu massa pasif sebagai hasilnya tanpa memberikan suara efektif dalam menentukan kebijaksanaan organisasi. Sikap apatis ini dimanfaatkan oleh para pimpinan untuk memperkuat kekuasaan mereka dan mengejar kepentingannya. Meski muncul perlawanan atau oposisi dari bawahan ,tidak menjadi halangan yang berarti. Karena kaum elit partai berada dalam pusat system komunikasi sehingga mampu mengontrol arus informasi untuk membenarkan kebijaksanaan dan tindakan mereka.
      Kenyataan membuktikan bahwa jabatan memberikan kepada mereka yang berkuasa suatu legitimasi teertentu yang tidak terdapat pada gerakan oposisi. Karena legitimasi inilah maka seruan mereka yang sedang berkuasa itu yang mengatakan bahwa tindakan mereka untuk kepentingan angggota cenderung dipercayai daripada serangan kritik dari oposisi. Mereka juga memiliki sumber yang dapat mereka gunakan untuk “menyuap” lawan-lawan yang tangguh ( atau bekerja sama ) dalam lingkaran elit itu. 
     Dinamika organisasi dalam hukum besi oligarki tidak berarti bahwa tidak mungkin untuk menggulingkan stuktur kekuasaan yang sudah mapan itu. Sejarah dari begitu banyak masyarakat mengungkapkan bahwa struktur kekuasaan itu kadang-kadang digulingkan dan diganti. Namun , banyak rintangan yang harus diatasi supaya gerakan oposisi itu berhasil. Tetapi kalau suatu gerakan oposisi berhasil menggulingkan suatu struktur kekuasaan tanpa atau dengan perlawanan, struktur kekuasaan baru yang dibentuk untuk menggantikannya, tanpa kecuali akan memperlihatkan kecenderungan oligarki yang sama, meskipun ada seruan untuk mengikuti prinsip-prinsip demokrasi dalam proses perjuangan menggulingkan struktur kekuasaan lama. 
        Seorang sosiolog jerman, Ralf Dahrendorf lahir tahun 1929 menyatakan hal yang serupa tentang otoritas elit yang berkuasa. Menurut Dahrendorf, mereka yang menggunakan otoritas dan mereka yang tunduk padanya pasti memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Kepentingan kelas yang berkuasa adalah mempertahankan legitimasi posisinya yang dominan, atau dengan kata lain, mempertahankan status quo sejauh ada hubungannya dengan strutur otoritas itu. 
        Diharapkan kerjasama berbagai pihak untuk menyelesaikan krisis bangsa. Masing-masing pihak tentu punya strategi tertentu dalam memposisikan dirinya. Dalam rangka menciptakan baubau masa depan, baubau harapan demi terciptanya civil society. Civil society adalah suatu masyarakat yang secara prinsip bersifat mandiri dan terlepas dari kekuasaan Negara. Masyarakat yang mampu mengisi ruang public, dengan melakukan partisipasi politik dalam rangka pembentukan kebijaksanaan public dalam sebuah Negara. Karena kapasitasnya yang mampu mengisi ruang public, Negara akan terbatas kekuasaannya, dan akhirnya demokrasi merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikkan. Dalam konteks kehidupan politik Indonesia seperti sekarang ini, yang paling potensial untuk menciptakan civil society adalah kalangan NGO/LSM. Karena, dalam kenyataannya merekalah yang mampu mengisi ruang public secara maksimal. Kita dapat mengambil contoh tentang RUU ketenagakerjaan. Yang paling jelas menentukan posisinya adalah kalangan NGO, misalnya YLBHI, FSPSI, dan lain-lain, ( Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi ).
         Bagaimana dengan partai politik? Kita juga memahami, bahwa peranan partai politik sudah direduksi pada tingkat fraksi di DPR. Partai politik baru muncul kalau mendekati dan pada waktu penyelenggaraan pemilihan umum saja. Tetapi, kalau sudah menyangkut persoalan public, partai politik tidak kedengaran suara dan posisinya. Padahal, Jika kita meletakkan partai dalam skala nasional negeri ini maka fungsi partai politik adalah sebagai penyalur aspirasi. Namun, yang lebih fundamental adalah fungsi parpol sebagai sekolah kepemimpinan. Dari mana Negara kita mengambil pemimpinnya?. Sumber satu-satunya kepemimpinan nasional dan daerah adalah partai politik. Tugas partai politik adalah mencetak pemimpin dan mengkontribusikannya pada Negara. Jika fungsi ini tidak berjalan, maka yang akan lumpuh adalah Negara karena kehilangan mata airnya, ( Anis Matta, Mencari Pahlawan Idonesia ).
        Di Indonesia, kebijaksanaan public, terutama dalam proses pembentukan agenda dan formulasi kebijaksanaan, merupakan domain dari sejumlah kecil elite. Sebaliknya warga masyarakat mengalami alienasi dalam hal proses itu. Warga masyarakat tidak terlibat sama sekali. Namun, kalau sudah sampai pada tahap implementasi kebijaksanaan, rakyat diwajibkan untuk terlibat. Pemerintah merupakan pemegang dan penentu agenda public dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah hampir tidak mendengar apa yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya pembangunan wilayah industry/ Pertambangan di suatu daerah. Hanya melibatkan Departemen terkait dengan satu dua orang pengusaha. Tidak ada diskusi public apakah lokalisasi pertambangan memang tepat dibangun di daerah tersebut? Apa kata ahli terkait proyek tersebut yang berada di perguruan tinggi, bagaimana pendapat kalangan petani/ masyarakat setempat. Itu hanyalah salah-satu contoh bagaimana kebijaksanaan public dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat sama sekali. 
          Bagaimana jadinya bangsa ini, bangsa yang besar, bangsa yang memiliki jati diri dan identitas yang jelas. Tapi dalam aplikasinya jauh panggang dari api. Penulis denny indrayana dosen hukum tata negara fakultas Hukum, UGM. Dapat gelar Ph.D dari faculty of law, unevirsity of Melbourne, mengatakan “ini negeri mafia Bung!”. Gambaran negeri ini turut diperparah dengan peran media dalam menyajikan informasi kepada masyarakat. Setiap harinya jika kita buka channel TV : Pembunuhan, demo anarki, mutilasi, korupsi, mafia peradilan, pornografi, sengketa tanah, bunuh diri menjadi menu harian masyarakat Indonesia. Tampilan media Seolah-olah Menggambarkan Indonesia adalah negeri yang MADESU (masa depan suram). Padahal banyak berita yang membanggakan di negeri Ini. Prestasi anak negeri yang ikut dalam olimpiade, petani yang memiliki lahan yang menghasilkan, peternak yang punya sapi gemuk dan sehat, Sri mumpuni dengan teknologi hidronya, Wirianingsih yang punya 10 anak hafal alqur`an dengan prestasi akademis yang luar biasa, Helvy tiana rosa penulis produktif, kepala sekolah yang berprestasi memajukan bangsa, para dosen yang spesialis di bidangnya, para pegiat social yang menghidupkan dan menyalakan semangat para dhuafa dan anak-anak jalanan. Harapan kedepannya media bisa menyajikan berita secara berimbang . Agar optimisme hadir menyusup ke nurani anak negeri ini. Agar perbuatan menyimpang tidak menjadi solusi bagi orang-orang yang putus asa. 
         Dalam tinjauan Sosiolog Emile Durkheim, kondisi yang dipaparkan oleh Darmawan Wiridin, SH bisa membawa masyarakat kepada kondisi anomi yaitu ketika aturan cultural : norma ,nilai kehilangan daya mengikatnya atau hancur sama sekali. Ketika orang hidup tanpa bimbingan, merasa terjungkir dan kehilangan pegangan. Mereka mencari jalan keluar dengan perilaku menyimpang atau bunuh diri diikuti anarki atau kekacauan social. Kecenderungan anomi banyak menimpa masyarakat modern . hal ini memerlukan perhatian terus-menerus untuk melestarikan atau memulihkan tatanan moral yang kuat. (Dosen sosiologi Unidayan)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

© Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena